![]()
Howdy!
My name is Vania Berliana.
My chinese name is 关玉芳。
I was born on February 5th, 199*. I'm a Chinese Indonesian. I can speak Chinese, English, and Indonesian. Just because my blog's theme is pink, doesn't mean i like this. My fav color is light blue. It's a pleasure to meet you! xoxo ![]() ![]() ![]() ![]() ![]() ![]()
| Setangkai Mawar di Rimbun Belukar
Apa asyiknya melihat makam serta bangunan kuno? Ya, itulah pertanyaan yang kerap kali dilontarkan. Jawabannya, bila dapat menyenangi, wisata masa lampau bisa jadi penuh arti. Selain itu kita dapat menyaksikan sendiri misteri-misteri yang selama ini tersembunyi. Wisata masa lampau juga banyak menciptakan kilau, tentunya, daripada berwisata ke tempat yang semata-mata indah. Menginjakan kaki di tanah Sulawesi pertengahan bulan Juni terasa sangat asri. Hal pertama yang aku dan keluargaku lakukan adalah check-in. Clarion Hotel menjadi pilihan kami. Tak banyak waktu yang aku sia-siakan sebab hari telah menjelang sore. Usai barang-barang diletakkan, aku dan keluargaku bergegas menuju Lemo, tempat penguburan dengan dinding berbatu kuno. Mayat yang disimpan di udara terbuka dapat dilihat di Lemo, bertempat ditengah bebatuan yang curam dan amat menikam. Di sana dijelaskan pula upacara Ma Nene atau mayat berjalan, namun aku tak begitu mengerti. Usai puas dengan Lemo, akupun kembali menuju hotel. Hari itu amat petang tuk melanjutkan perjalanan. Maka aku sekeluarga membersihkan diri kemudian dilanjutkan makan malam. Menuju alam mimpi, adalah kegiatan kami usai bersantap. Jam menunjukan pukul 08.00 WITA ketika aku membuka mata. Fajar telah menyingsing di samping mega. Cepat aku menyiapkan diri lalu bergegas mengelilingi pulau Sulawesi yang penuh fantasi. Setelah Lemo, wisata kedua yang aku kunjungi adalah Pallawa. Bukit yang tinggi merupakan letak rumah adat tongkonan itu. Menyusuri tongkonan, tanduk kerbau yang ditancapkan memanjang sejauh mata memandang. Aku kurang mengerti apa maksud senjata kerbau menjadi lambang tongkonan tersebut. Kunjungan berlanjut menuju Ke’te Kesu. Di Ke’te Kesu aroma kehidupan masyarakat tradisional masih begitu kenyal. Di sana terdapat tongkonan induk berjumlah delapan serta lumbung padi yang menghiasi bagian depan rumah adat itu. Disela rimbunnya pepohonan nampak orang-orang duduk santai dibagian belakang tongkonan. Lapang hati menyaksikannya. Usai berkeliling, aku melihat salah satu tongkonan yang berusia 150 tahun. Ditandai dengan suasana yang pengap dan cahaya matahari yang hanya samar-samar dapat masuk. Sungguh menakjubkan Ke’te Kesu itu. Di sana orangtuaku juga membeli banyak souvernir untuk oleh-oleh. Puas dengan Ke’te Kesu, aku melanjutkan perjalanan ke Lo’ko Mata. Panorama di Lo’ko Mata amatlah indah. Sejauh mata memandang, berjejer bukit-bukit hijau membentang. Selain itu, derus arus sungai pun terdengar jelas menambah lengkap indahnya bentang alam ini. Lo’ko Mata amat menciptakan rindu yang luar biasa. Hari ketiga datang menjemputku untuk berwisata kembali. Pagi itu aku mengunjungi Malino. Ada angin lembut membelai wajahku ketika aku memasuki kawasan wisata alam ini. Di depanku hamparan hijau tanaman teh membentang luas diselimuti kabut-kabut tipis yang memanjang di langit biru. Mentari pun bersinar begitu benderang, namun tetap tak daya mengusir dinginnya udara yang menusuk tulangku. Pagi itu begitu melankolis. Gemericik air telah menghanyutkanku ke dunianya. Aku terpana, begitu lama. Seluruh beban pikiran yang aku punya, tiba-tiba lenyap entah kemana. Lamunanku sirna ketika seseorang menyentuh pundakku. Rupanya mama, mama menyudahi takjubku pada kebun teh ini. Kami akan melanjutkan perjalanan menuju air terjun Bantimurung katanya. Hanya beberapa menit setelah aku hanyut dalam hijaunya dedaunan teh, kembali aku dipesonakan dengan air yang turun bagai membawa asap. Begitu deras. Di sana air tak kalah sejuknya dengan udara. Mereka menerpa dan menyegarkan pori-poriku. Satu luka yang ku peroleh di sana, tak ada kupu-kupu menari, tak ada pelangi kecil yang kerap kali mewarnai. Kupu-kupu telah menjadi ribu. Berlembar-lembar uang diperoleh dengan mengawetkan satu persatu. Melalui tapak kecil dari hulu air terjun yang panjang, tibalah aku di goa mimpi. Ketika akan memasuki mulut goa, aku dan keluargaku diberikan alat penerangan berupa senter karena ternyata goa amat besar dan gelap. Memasuki goa lebih dalam, ku sinari awang-awang dengan alat penerang. Aku melihat stalaktit bertabur kristal untuk pertama kalinya. Kakiku lecet, namun aku puas, teramat puas. Satu pelajaran yang ku peroleh dari goa mimpi, gantunglah mimpi setinggi langit. meski karenanya kau perlu jinjit. Jangan pernah takut tuk sakit. Bangkit, dan takkan ada hal yang sulit. Usai berhasil menyelami goa mimpi, aku tak melanjutkan perjalanan ke goa kedua di bawah air terjun yaitu goa batu. Kaki-kakiku sudah tak mampu. Maka kami pun bergegas menuju hotel dan menanti petualangan esok hari. Memasuki hari keempat di Sulawesi, aku mengunjungi sebuah benteng yang dibangun oleh kompeni dagang belanda (VOC) yaitu Fort Rotterdam. Benteng ini begitu besar dan bersejarah. Menurutku sama saja dengan benteng di Yogyakarta, hanya saja pengerjaannya memakan waktu yang lebih lama karena bagian dalam benteng ini amatlah luas dan berliku. Tak banyak yang dapat aku lakukan di dalam benteng, hanya berkeliling dan memandangi bangunanya sambil sesekali berfoto. Matahari terik sekali hari itu. Hawa panasnya mendekap begitu erat. Tak ada angin berhembus. Pepohonan hanya bisu seraya tertunduk lesu. Aku menyudahi berkeliling. Kami akan melanjutkan perjalanan menuju Monumen Korban 40.000 Jiwa. Sesampainya di monumen, ada perasaan meremang yang tiba-tiba menyelimuti. Di sana terkubur 40.000 jiwa yang dibantai oleh pasukan Belanda dengan senapan tangannya sendiri. Semuanya seakan begitu ironi. Perlahan, air menyentuh heningku. Rupanya gerimis, ia mendesis. Seakan ikut miris atas peristiwa tragis. Sang surya pesimis. Padahal teriknya baru saja berhasil menyengat tubuhku. Kunjungan kami berikutnya adalah Makam Pangeran Dipenegoro. Kompleks ini terdiri dari 66 makam dan dua terbesarnya adalah Pangeran Dipenegoro beserta sang istri. Cuaca masih belum membaik ketika aku meninggalkan makam. Suara rintikan hujan menderas. Jalanan basah. Daun perlahan turun ke tanah, berguguran. Mobil dipinggirkan sejenak oleh jasa sopir hotel, kami berhenti di sebuah kafe untuk minum susu panas. Hujan menimbulkan dahaga ditenggorokan kami. Jam menunjukan pukul 15.47 WITA ketika ku tengok arloji, artinya kurang lebih satu jam aku menghirup aroma susu panas yang telah menghangatkan tubuh. Hujan telah usai ketika kakiku melangkah keluar kafe, rinainya menyisakan embun dan mendung yang masih sedikit menggantung. Rasanya baru 25 menit kusandarkan tubuh pada jok mobil yang empuk kami telah tiba di pantai pusat kota, Losari Beach. Di Losari, aku merasakan makanan khas Makassar yang biasa disebut es pisang ijo. Suara teriak orang-orang pecah bersamaan dengan debur ombak yang mengiringi santapku. Sesekali, air beriak melambung kemudian menghujam turun ketika seorang bocah kecil iseng melempari batu-batu cembung. Papaku agak kaget ketika tiba-tiba aku bertanya, “Pa, kenapa kita tak mendekati matahari?” kulihat alisnya pun ikut berkerut. Sesegera mungkin aku menjelaskan maksudku. “Aku ingin menyewa perahu agar dapat ke tengah pantai.” Ayahku terbahak setelah mengerti. Tetapi jawabnya, “Jangan Nak, kita abadikan saja pemandangan ini beserta kau.” Singkatnya beliau menolak, aku menurut. 20 menit setelah percakapan itu, matahari tergelincir. Ia perlahan menuju cakrawala ungu. Langit tersenyum, menampakan jutaan palet warna yang lukisannya adalah mentari keemasan senja itu. Hatiku bernyanyi. Walau tanpa kata yang biasanya menemani. Hari kelima tiba. Inilah hari kepulangan menuju kota tercinta. Tak ada rekreasi alam lagi. Maka sambil menunggu keberangkatan pesawat, aku berbelanja di salah satu mall terbesar di Makassar. Usai berbelanja, aku sadar ternyata baju yang kubeli amat banyak. Aku sendiri bingung entah mengapa. Padahal, pusat perbelanjaan di kotaku tak kalah megah. Bagai menemukan setangkai mawar di rimbun belukar. Aku mendapat satu cerita indah dari banyaknya wisata alam yang ku kunjungi. Itu sangatlah berarti. |