V a n i a B e r l i a n a
Transparent Sexy Pink Heart

Semua yang basah akan kembali mengering
Sunday, 29 January 2012

Sejak kecil, aku menyukai hujan, namun bukan berarti aku membenci bulan. Hujan dan bulan tak pernah akur, semua orang tahu itu. Pagi itu, hari minggu, hujan turun rintik-rintik di pekarangan rumahku, perlahan lalu menderas. Aku tertegun, di ujung timur, matahari belum cukup merah untuk menghapus embun. Tak lama, derap-derap kaki terdengar dari kejauhan, aku yakin itu pembantuku, ia mengetuk pintu, padahal sedari tadi aku sudah terjaga. Aku bergegas membenahi diri lalu berangkat menuju gereja St. Ignatius Magelang, disebabkan perjalanan memakan cukup waktu, tanpa sengaja aku kembali terlelap. Bagiku, gemericik air hujan adalah nyanyian paling merdu. Waktu menunjukan pukul 08.00 WIB kala aku tiba-tiba terbangun, sopirku mengerem mendadak, tubuhku terlonjak. Tak ubahnya seperti ketahuan mencuri, aku panik luar biasa. Insiden yang terpampang di depan mobilku bukan main-main, sopir baruku ini menabrak salah satu teman dekatku kala kami sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Aku takkan lupa peristiwa itu, sekalipun luka ditubuh temanku tak terlalu serius, tetap saja, ia meringis menahan tangis, tangannya berdarah, sedangkan kakinya lecet-lecet. Ia terserempet mobilku yang tak bisa di kata berukuran minim. Aku memaki sopirku, dan bergegas membawa temanku duduk di jok belakang mobil sembari kutanyakan mengapa ia bisa berada di daerah sekitar magelang, ia berkata ia pindah rumah. Pagi itu, aku kesal pada hujan, sebab hujan, temanku terpeleset saat akan menghindari mobilku. Karena perasaan bersalah menyelimuti hatiku, kuberikan salah satu benda yang menjadi faforitku, sebuah kalung dengan liontin bintang berwarna biru menggantung dibawahnya. Ternyata temanku menyukainya, ia tersenyum, matanya berbinar-binar. Usai itu, kuobati luka-lukanya menggunakan kotak obat yang tersimpan rapi dalam dashboard mobilku. Mamaku memang penuh persiapan, aku salah sebab pernah marah sembari berkata semua itu hanya memenuhi mobil. Hening panjang meliputi perjalananku usai aku mengobati lukanya. Rupanya, sekian lama tak bertemu kami menjadi sama-sama kikuk. Mungkin jenuh diliputi kecanggungan yang ada, ia memecah keheningan, ia berkata ingin ikut aku ke gereja, jadilah hari itu kami pergi ke gereja bersama-sama. Dalam sekejap, hening enggan menempel pada kami, kembali seperti sediakala, kami sepasang teman lama yang cerewet. Walau kecemasan masih menyelimuti hatiku, aku tetap tersenyum, aku tahu betul mamanya pasti marah padaku yang telah menabraknya. Namun kenyataan memang lebih pahit daripada yang kuduga, mamanya pergi dari rumah, hati orangtuanya bercerai, walau secara hukum belum. Aku berpikir, mungkinkah itu sebabnya ia pindah rumah? Sungguh malang nasibnya, ia meluapkan segalanya padaku. Untuk pertama kalinya semenjak kelas tiga sekolah dasar, Aku melihatnya menangis, bahunya telihat amat rentan, bergetar. Mengapa dalam bentuk air? Tuhan pasti punya alasannya tersendiri, yang hanya dapat kuterka-terka. Mungkin karena air bisa menyusup pada celah sekecil apapun. lambat laun ia akan menghilang. Pada akhirnya semua yang basah akan kembali mengering. Pun luka yang menempel pada tangan-kaki temanku itu.